Saturday, January 24, 2015

Biografi Imam Nawawi al-Bantani

 Syeikh Nawawi al-Bantani
oleh Umi Rahmawati, SPdI
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di sebelah utara kota Serang.[1] Dari beberapa referensi yang penulis baca, terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syeikh Nawawi al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syeikh Nawawi ini dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun  kelahirannya saja yaitu pada bulan Muharram(dalam kalender Hijriyah) dan bulan Desember(dalam kalender Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang tahun kelahiran Syeikh Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari seorang penulis bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syeikh Nawawi lahir pada tahun 1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.[2]
Semua referensi yang membahas tentang Syeikh Nawawi al-Bantani nampaknya sepakat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1230 H, namun yang agak keliru dari apa yang dituliskan oleh Chaidar adalah mengenai tahun kelahirannya dalam tahun Masehi, yang kemudian menjadi sasaran kritikan  dari penulis lainnya seperti Yuyun Rodiana. Yuyun Rodiana mengatakan bahwa jika dilihat dari persesuaian antara tahun Hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H itu sama dengan tahun 1814 atau 1815 M, jelasnya adalah bulan Muharam 1230 H sama dengan dengan bulan Desember 1814 M. Akan tetapi jika kelahiran Syeikh Nawawi al-Bantani ini adalah setelah bulan Muharram, maka tahun Masehinya adalah 1815 M, persisnya adalah antara bulan Januari dan November 1815 M.[3] Demikianlah mengenai tahun kelahiran Syeikh Nawawi al-Bantani, walaupun terjadi beberapa perbedaan, namun itu bukanlah perbedaan yang rumit, karena hanya berkisar pada masalah penetapan tahun Masehi saja. Beliau wafat di Mekah tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah bertepatan tahun 1897 M.
Syeikh Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi atau yang lebih dikenal dengan Kiai Nawawi Banten itu sebetulnya bernama asli Muhammad bin Umar Ali bin Arabi. Beliau disebut sebagai Kiai Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi karena beliau berasal dari Tanara, Banten dan tergolong sebagai Ulama’ Jawi atau Ulama’ yang berbangsa Melayu.[4] Namun ada beberapa hal yang menjadi pertanyaan atas asal-usul nama panggilan yang dinisbatkan kepada Syeikh Nawawi ini adalah mengenai nama Nawawi, yang di sini penulis masih mempertanyakan dari mana nama Nawawi ini diambil, sementara jika kita lihat nama asli beliau adalah Muhammad. Jika yang kita ingin pertanyakan adalah  nama belakang beliau yang diimbuhi dengan kata at-Tanari al-Bantani al-Jawi, maka itu sudah tampak jelas bahwa nama itu diambil dari asal daerah tempat beliau dilahirkan. Lantas bagaimana dengan kata Nawawi itu sendiri?, ini adalah pertanyaan yang penulis rasa penting untuk didiskusikan.
a)      Riwayat pendidikan
Semenjak kecil Kiai Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan tentang keislaman langsung dari ayahnya yang bernama K.H. Umar. K.H. Umar ini juga dikenal sebagai salah satu ulama yang tinggal di desa Tanara. Jadi sebelum Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima pelajaran dari orang lain, ia terlebih dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh sang ayah yang juga dikenal sebagai ulama’. Selanjutnya beliau berguru kepada Kiai Sahal dan setelah itu beliau berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa Barat, hingga ia mencapai usia yang kelima belas.[5] Bersama Kiai Yusuf, beliau banyak belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab berikut ilmu Nahwu dan Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa beliau juga belajar ilmu-ilmu yang lainnya, hanya saja beliau lebih terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.
Setelah usianya mencapai 15 tahun beliau pun pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di sana serta berguru kepada para Ulama’ terkemuka seperti Syeikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan dan Syeikh Ahmad Dimyati, ini berlangsung pada tahun 1830-1833 M. Jika kita perhatikan, bahwa kepergian beliau ke tanah suci Mekah itu terjadi pada saat usia beliau masih sangat muda. Dan di usia muda seperti ini, beliau telah belajar bersama para Ulama terkenal seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Tak hanya itu, beliau juga berguru kepada Syeikh Muhammad Khatib al-Hanbali di Madinah. Setelah menimba ilmu selama tiga tahun dan usia beliau genap mencapai 18 tahun, dikatakan bahwa beliau sempat pulang ke kampung halaman, membantu sang ayah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di pesantren. Nampaknya kondisi lingkungan yang sedang dikuasai oleh para penjajah Belanda tidak menyambut hangat kepulangan Syeikh Nawawi ke Banten. Oleh karena itu, beliau pun merasa tak betah untuk berlama-lama berada di Banten, dan segera memutuskan untuk kembali ke Mekah. Sebagian mengatakan bahwa beliau tinggal di Banten hanya beberapa bulan saja, sementara yang lain mengatakan bahwa beliau tinggal sampai tiga tahun, kemudian kembali ke Mekah dan kemudian tinggal di sana sampai akhir hayatnya.[6]
Sekembalinya ia ke Mekah, ia pun terus berguru kepada para ulama’, baik itu yang berasal dari Jawi maupun Timur tengah sampai tahun 1860. Di antara guru-gurunya yang dikenal adalah Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulawani, dan Syeikh Abd al-Hamid Daghestani (berasal dari Daghestan). Syeikh Ahmad Khatib Sambas yang menjadi salah satu guru beliau adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Sambas(Kalimantan Barat). Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini memiliki empat orang murid, ke empat murid itu adalah Syaikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, Syeikh Abdul Karim al-bantani dan yang terakhir adalah Syeikh Muhammad Khalil yang akhirnya menetap di daerah Bangkalan Madura dan wafat di sana. Dikatakan bahwa di antara ke empat murid Syeikh Sambas tersebut, Syeikh Nawawilah yang paling senior. Karena di samping beliau adalah sahabat seperguruan mereka, terkadang beliau juga menjadi guru mereka dalam hal-hal tertentu.[7]
Setelah lama 30 tahun lamanya beliau menimba ilmu bersama para ulama terkemuka, akhirnya beliaupun mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar sekaligus imam di Masjid al-Haram Mekah, kurang lebih selama 10 tahun. Dan selebihnya hari-hari beliau banyak dihabiskan untuk mengarang kitab dan mengajar serta mendidik para santri di rumahnya hingga akhir hayatnya.
b)     Karya-karya Syeikh Nawawi al-Bantani
Terdapat perbedaan pendapat dari para peneliti tentang jumlah kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi ini. Di antaranya adalah pendapat yang diusung oleh J.A Sarkis(sarjana Belanda) yang mengatakan bahwa beliau telah menulis kitab sebanyak 39 kitab. Dan pendapat yang lain diusung oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri dan KH Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa beliau telah menulis lebih dari 100 buah kitab besar maupun kecil. Beliau merupakan salah satu ulama besar Nusantara yang kitabnya telah menjadi rujukan bagi instansi-instansi ternama dunia, seperti Universitas al-Azhar dan beberapa pesantren di Nusantara.
Banyak kitab yang telah ditulis oleh Syeikh Nawawi al-Bantani, sebagian kitab tersebut berisi pembahasan lepas yakni tidak terkait dengan kitab-kitab lain, namun sebagian lainnya adalah kitab sebagai syarah dari kitab-kitab yang telah ada sebelumnya. kitab-kitab hasil karangan Syeikh Nawawi al-Bantani kangkauan pembahasannya meliputi ilmu tauhid, fikih, tasawuf, hadits, nahwu, sharaf, fadhailul a’mal dan sebagainya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah Syarh al-Jurumiyah(1881), Tanqih al-Qaul (meluruskan pendapat) syarah atas kitab Lubab al-Haditskarya as-Suyuti. Dan lain sebagainya.
c)      Garis keturunan Syeikh Nawawi al-Bantani
Jika ditinjau dari segi nasab, maka akan kita ketahui bahwa nasab Syeikh Nawawi al-Bantani ini bersambung hingga Sunan Gunung Jati yang telah mashur dikenal sebagai salah satu wali penyebar islam di Nusantara. Dari Sunan Gunung Jati pun jika kita tinjau lebih jauh, maka garis keturunannya akan sampai kepada Rasulullah. Ayah Syaikh Nawawi al-Bantani ini bernama K.H. Umar yang merupakan salah satu ulama di desa Tanara dan juga sebagai pemimpin masjid serta pesantren di desa tersebut. Untuk lebih jelasnya, begini silsilah keluarganya: Syeikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Kiai Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Ki Tajul Arsyi(pangeran Suryararas) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidatuna Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah.[8]


·         Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah turunan dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda.  Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai.  Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung.
·         Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.  Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek.  Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
·         Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya.Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya.  Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Semasa hidupnya, Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A’mali al-Jaibiyah.  Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.
·         Karya lainnya adalah hsyiyatun Nafahat ala Syarh al-Waraqat.  Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih.  Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A’mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah.Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV.  Ia juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat.  Imam Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri).
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu shalat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintangtsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
·         Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna saat berlayar.  Kajian dalam bidang geometri ini tertuan dalam karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab
·         Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.  Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah yang harus dimaksimalkan.
·         Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.B. MURID-MURID SYEKH AHMAD KHATIB
·         1. Karim Amarullah
·         Haji Abdul Karim Amrullah, disebut pula sebagai Haji Rasul, dilahirkan di desa Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 10 Februari 1879, dengan nama kecil Muhammad Rasul. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah, seorang syekh dari tarekat Naqsyabandiyah. Ibunya bernama Andung Tarawas.  Pada tahun 1894 beliau dikirim ayahnya ke Mekah untuk menimba ilmu, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram.  Pada tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mengembangkan cabang organisasi Muhammadiyah di Minangkabau, yaitu di Sungai Batang, kampung halamannya.
·         Haji Abdul Karim Amrullah wafat pada tanggal 2 Juni 1945.Salah satu puteranya, yaitu Buya Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.

·         2. Muhammad Jamil Jambek
·         Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal abad ke-20, dikenal juga sebagai ahli ilmu falak terkemuka.  Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu.  Ayahnya bernama Saleh Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.
·         Ketika itu dia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.  Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah.  Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak.  Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah.  Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
·         Pada tahun 1903, dia kembali ke tanah air.  Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.  Di antara murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat.  Lantaran itulah Syekh Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah.  Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat.  Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
·         Kemudian dia menulis buku mengenai kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang dari Persia dan India.  Syekh Muhammad Jambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.  Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau.  Tahun 1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempa.  Walaupun beliu pada awal-awal nya sebagai guru tarekat akhirnya termasuk salah satu ulama yang membebaskan masyarakat dari kemusyrikan.
·         3. Sulaiman Arrasuli
·         Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi adalah di Mekkah.  Ulama yang seangkatan dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287 H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936 M), Syeikh Khathib Ali al-Minankabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur al-Minankabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minankabawi, Syeikh Abbas Ladang Lawas al-Minankabawi dll.  Sementara ulama Malaysia yang seangkatan dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352 H/1933 M) dll.
·         Ketika tinggal di Mekah, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib Abdul Lathif al-Minankabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu dari pada ulama Kelantan dan Patani.  Antaranya, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani, Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani.  Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho mengasaskan Persatuan Tarbiyah Islamiyah.  Kemudian persatuan tersebut menjadi sebuah parti politik yang mempunyai singkatan nama PERTI.  Baik dalam sistem pendidikan mahupun perjuangan dalam parti politik, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan berpegang dengan satu mazhab, iaitu Mazhab Syafie.
·         Beberapa orang ahli sejarah telah mencatatkan bahawa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah memang seorang ulama besar yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan.  Sejak zaman pemerintah Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang menziarahi beliau.  Demikian juga pemimpin-pemimpin setelah kemerdekaan Indonesia.  Soekarno sejak belum menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa memang sering berkunjung ke rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli.  Pada hari pengkebumian beliau, dianggarkan 30,000 orang hadir termasuk ramai pemimpin dari Jakarta, bahkan juga dari Malaysia.
·         4. Hasyim Ansya’ari
·         Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’arie (bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari) (10 April 1875 (24 Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
·         Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi.  Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20.  Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti kebangkitan ulama.
Walaupun sama-sama berguru kepada syeikh khatib al-minangkabawi KH hasyim asysri juga memiliki pandangan berbeda dengan murid-murid syeikh khatib yang lain seperti ahmad dahlan pendiri organisasi muhamadiyah , walaupun demikian mereka tetap saling menghargai satu sama lain, pada pembahasan selanjutnya akan saya coba membahas perbedaan pandangan para murid-murid syaikh khatib al-minagkabawi
·         5. Ahmad Dahlan
·         Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga KH. Abu Bakar.  KH. Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari KH. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu.  Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy.
·         Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy.  Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.  Ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di Jawa.[1]  Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH. Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
·         Pada umur 15 tahun, ia pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun.  Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah.  Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.  Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun.  Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asyari.  Walaupun pernah satu guru tapi tak selamanya cara padang orang tersebut sama ini terbukti dengan perbedaan yang terjadi antra pendiri NU hasyim Asyari dan ahmad dahlan pendiri muhamadiyah.
·         C. Pengaruh Syekh Khatib Al-Minangkabawi
·         Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi ini boleh dikatakan menjadi tiang tengah dari Madzhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV.  Beliau banyak sekali mengarang kitab dalam bahasa Arab dan bahasa Melayu (Indonesia), di antaranya yang banyak tersiar di Indonesia, adalah:
·         l. Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu fiqih.
2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5. An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).
·         Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam.  Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal.  Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara.  Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
·         Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan.  Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.  Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme.  Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.
·         Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya.  Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya.  Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.  Sejak berangkat ke tanah suci mekah Ahmad Khatib tidak pernah kembali ke tanah air, tetapi pengaruh nya cukup besar di Minangkabau, tanah asalnya pengaruh Ahmad Khatib di di indonesia agak terbatas
Tetapi pengaruh Ahmad Khatib teradap murid-muridnya yangberasl dari daerah minang kabau tidak dapat di sangkal lagi, umumnya murid-murid Ahmad Khatib menolak hukum waris adat Minangkabau yang berpusaka kepada kemenakan, khusus dikalangan pembaharu, penolakan Ahmad Khatib terhadap tarikat naqsybandiah di teruskan oleh murid- muridnya kemudian, Ahmad Khatib juga berjasa dalam mendidik murid-murid yang datang dari Indonesia yang belajar kepadanya, sebagian mereka menjadi ulama dan tokoh dakwah terkemuka di Indonesia
·         Penolakan Ahmad Khatib terhadap hukum waris adat di Minangkabau di perjuangkan dengan sangat gigih oleh muridnya yahya, yang terkenal dengan Tuanku Simabur berasal dari tanah datar sekarang kabupaten, dalam tulisan, khutbah, dan pengajian karang kabupaten, simabur mengumumkan perang kepada kaum adat serta ulama ikut membantu menegakkan hukum adat mengenai waris.
·         Penolakan terhadap tarekat naqsyabandiah di suarakan oleh muridnya Dr. H. Abdul Karim Amarullah, Dr. Haji Abdullah Ahmad, dan Syeikh Muhammad Jamil Jambek. Dr. H. Karim Amarullah dan Dr H. Abdullah Ahmad bersama dua orang muridnya pernah terlibat perdebatan dengan tokoh tarekat naqsyabandiah dipdang pada tahun 1906.  Tokoh naqsyabandiah tersebut adalah itu adalah Syeikh Khatib Ali, salah seorang murid Ahmad Khatib penentang adat, Khatib Saidina, Tuanku Syeikh Bayang, dan Tuanku Syeikh Seberang Pandang, imam mesjid ganting dalam perdebatan ini pihak pembela tarekat naqsyabandi kewalahan menghadap ulama muda yang didik oleh Ahmad Khatib, mereka dapat mengemukakan keterangan dan dasar-dasar yang kuat dalam menentang tarekat, sejak peritiwa itu timbullah sebutan “kaum muda” dan “kaum tua”golongan yang disebut pertama adalah mereka yang terdiri ulama yang setuju dengan pendapat Ahmad Khatib dalam menolak tarekat, walaupun di pihak pembela tarekat juga ada murid Ahmad Khatib, namun beliau tidak dapat mematahkan mematahkan argumentasi kawan-kawan seperguruannya.
·         D. Polemik Murid-Murid dan Murakazah Syekh Khatib Al-Minangkabawi
·         Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu.Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
·         Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi berkontroversi dengan sayid utsman (mufti betawi) dan beberapa ulama yang berasal dari palembang dan ulama-ulama yang lainya. Polimik yang paling hebat adalah pandangan tentang tarekat naqsyabandiyah. Syekh Khatib Al-Minangkabawi telah disanggah ramai ulama ulama minagkabau sendiri terutama oleh ulama besar, sahabatnya, beliu adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka yang berasal dari Mungkar Tua, Minangkabau
·         Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.  Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau.  Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua.  Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib,Syeikh Khatib Al-Minangkabawi juga mendapatkan terhadap kesuksesannya sebagai guru, Muhammad Sa’id Babsil, seorang ulama Arab dan mufti mazhab Syafi’i yang juga guru masjidil haram merasa iri terhadap kemajuan yang dicapai oleh Ahmad Khatib di negeri Arab.
·         Ia merasa tidak senang melihat non arab memperoleh tempat mengajar di pusat pengajaran kota Mekah. Maka atas hasutannya, ketika Ahmad Khatib baru mengajar di Masjidil Haram, beliu di lempari batu, mufti ini tidak dapat berbuat lain, karena ahmad khatib mendapat ijin Syarief awn Al-Rafiq untuk mengajar di situ.  Peristiwa yang sama juga dialami oleh muridnya haji Abdul Karim amarullah di tempat yang sama.  Karena gagal gagal mematahkan semangat dan membatasi Ahmad Khatib di Mekah, ia lalu bertindak sesuka hatinya kepada haji Abdul Karim Amarullah murid kesayangan Ahmad Khatib.  Ketika Abdul Karim Amarullah datang kedua kalinya ke Mekah beliu lebih banyak maengajar dari pada belajar. Setelah tempatnya mengajar penuh oleh murid, beliu disuruh Ahmad Khatib mengajar di Masjidil Haram.  Beberapa hari haji Abdul Karim Amarullah datanglah mufti itu mengusirnya, ia jengkel sekali bahwa yang meyuruh mengajar di Masjidil Haram adalah Syeikh Ahmad Khatib.
·         Rasa tidak senang Syeikh Muhammad Sa’id Babsil Kepada Ahmad Khatib bermula dari dari permusuhannya dengan guru syeikh ahmad khati yaitu syeikh bakr al-syatta. Kemudia ditambah lagi denga iri hati atas sukses ulama asal Indonesia itu di kota Mekah dan tanah Hijaz.
·         Sifat Ahmad Khatib dalam menentang adat juga mendapat tantangan dari banyak guru agama diatara yang mengemukakan tanggapannya kepada Ahmad Khatib adalah Syeikh Sa’ad mukadalam tulisannya Tabih Al-Awam, yang telah saya sampaikan juga di atas dalam buku itu ia menyinggung hal ini sambil lalu dengan nada sinis ia mengatakan ; “Jika harta orang Minang dianggap haram maka haram pulalah juga pemberian yang berasal dari suku bangsa ini”.

·         Ucapan diatas tidak lebih pelampiasan rasa benci belaka kepada ulama penentang tarekat itu.  Semua tantangan yang di hadapi oleh Ahmad Khatib tersebut tidak megurangi kharismannya, bahkan sebaliknya menambah popularitasnya dan menambah penghormatan kaum pembaharu/kaum muda di Minang Kabau kepadanya.

No comments:

Post a Comment