Syeikh
Nawawi al-Bantani
oleh Umi Rahmawati, SPdI
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi itulah namanya. Beliau adalah
salah satu ulama besar dari Nusantara yang banyak berjasa dalam perkembangan
ajaran islam melewati aktivitas dakwah dan pemikiran-pemikirannya yang
mendunia. Beliau lahir di desa Tanara, kecamatan Tirtayasa, Banten bagian utara
tepatnya pada tahun 1230 H atau 1814 M. Desa Tanara terletak kira-kira 30 km di
sebelah utara kota Serang.[1] Dari beberapa referensi yang penulis
baca, terutama yang berbicara tentang perjalanan hidup Syeikh Nawawi
al-Bantani, tidak disebutkan mengenai tanggal berapa Syeikh Nawawi ini
dilahirkan.Yang disebutkan di beberapa referensi hanya bulan dan tahun
kelahirannya saja yaitu pada bulan Muharram(dalam kalender Hijriyah) dan
bulan Desember(dalam kalender Masehi). Terdapat beberapa versi pula tentang
tahun kelahiran Syeikh Nawawi, versi yang pertama yaitu yang muncul dari
seorang penulis bernama Chaidar yang menyebutkan bahwa Syeikh Nawawi lahir pada
tahun 1230 H yang bertepatan dengan tahun 1813 M.[2]
Semua referensi yang membahas tentang Syeikh Nawawi al-Bantani
nampaknya sepakat bahwa beliau dilahirkan pada tahun 1230 H, namun yang agak
keliru dari apa yang dituliskan oleh Chaidar adalah mengenai tahun kelahirannya
dalam tahun Masehi, yang kemudian menjadi sasaran kritikan dari penulis
lainnya seperti Yuyun Rodiana. Yuyun Rodiana mengatakan bahwa jika dilihat dari
persesuaian antara tahun Hijriyah dan Masehi, tahun 1230 H itu sama dengan
tahun 1814 atau 1815 M, jelasnya adalah bulan Muharam 1230 H sama dengan dengan
bulan Desember 1814 M. Akan tetapi jika kelahiran Syeikh Nawawi al-Bantani ini
adalah setelah bulan Muharram, maka tahun Masehinya adalah 1815 M, persisnya
adalah antara bulan Januari dan November 1815 M.[3] Demikianlah mengenai tahun kelahiran
Syeikh Nawawi al-Bantani, walaupun terjadi beberapa perbedaan, namun itu
bukanlah perbedaan yang rumit, karena hanya berkisar pada masalah penetapan
tahun Masehi saja. Beliau wafat di Mekah tanggal 25 Syawal 1314 Hijriyah
bertepatan tahun 1897 M.
Syeikh Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi atau yang lebih
dikenal dengan Kiai Nawawi Banten itu sebetulnya bernama asli Muhammad bin Umar
Ali bin Arabi. Beliau disebut sebagai Kiai Nawawi at-Tanari al-Bantani al-Jawi
karena beliau berasal dari Tanara, Banten dan tergolong sebagai Ulama’ Jawi
atau Ulama’ yang berbangsa Melayu.[4] Namun ada beberapa hal
yang menjadi pertanyaan atas asal-usul nama panggilan yang dinisbatkan kepada
Syeikh Nawawi ini adalah mengenai nama Nawawi, yang di sini penulis masih
mempertanyakan dari mana nama Nawawi ini diambil, sementara jika kita lihat
nama asli beliau adalah Muhammad. Jika yang kita ingin pertanyakan adalah
nama belakang beliau yang diimbuhi dengan kata at-Tanari al-Bantani
al-Jawi, maka itu sudah tampak jelas bahwa nama itu diambil dari asal daerah
tempat beliau dilahirkan. Lantas bagaimana dengan kata Nawawi itu sendiri?, ini
adalah pertanyaan yang penulis rasa penting untuk didiskusikan.
a) Riwayat
pendidikan
Semenjak kecil Kiai Nawawi al-Bantani mendapat pendidikan
tentang keislaman langsung dari ayahnya yang bernama K.H. Umar. K.H. Umar ini
juga dikenal sebagai salah satu ulama yang tinggal di desa Tanara. Jadi sebelum
Kiai Nawawi al-Bantani ini menerima pelajaran dari orang lain, ia terlebih
dahulu dibekali ilmu pengetahuan oleh sang ayah yang juga dikenal sebagai
ulama’. Selanjutnya beliau berguru kepada Kiai Sahal dan setelah itu beliau
berguru kepada Kiai Yusuf di Purwakarta, Jawa Barat, hingga ia mencapai usia
yang kelima belas.[5] Bersama Kiai Yusuf, beliau banyak
belajar tentang ilmu alat, seperti Bahasa Arab berikut ilmu Nahwu dan
Sharafnya. Namun hal ini tak menafikan bahwa beliau juga belajar ilmu-ilmu yang
lainnya, hanya saja beliau lebih terfokus kepada ilmu-ilmu alat tersebut.
Setelah usianya mencapai 15 tahun beliau pun pergi ke tanah suci
Mekah untuk menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di sana serta berguru
kepada para Ulama’ terkemuka seperti Syeikh Nahrawi, Syeikh Ahmad Zaini Dahlan
dan Syeikh Ahmad Dimyati, ini berlangsung pada tahun 1830-1833 M. Jika kita
perhatikan, bahwa kepergian beliau ke tanah suci Mekah itu terjadi pada saat
usia beliau masih sangat muda. Dan di usia muda seperti ini, beliau telah
belajar bersama para Ulama terkenal seperti yang telah penulis sebutkan di
atas. Tak hanya itu, beliau juga berguru kepada Syeikh Muhammad Khatib
al-Hanbali di Madinah. Setelah menimba ilmu selama tiga tahun dan usia beliau
genap mencapai 18 tahun, dikatakan bahwa beliau sempat pulang ke kampung
halaman, membantu sang ayah mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di pesantren.
Nampaknya kondisi lingkungan yang sedang dikuasai oleh para penjajah Belanda
tidak menyambut hangat kepulangan Syeikh Nawawi ke Banten. Oleh karena itu,
beliau pun merasa tak betah untuk berlama-lama berada di Banten, dan segera
memutuskan untuk kembali ke Mekah. Sebagian mengatakan bahwa beliau tinggal di
Banten hanya beberapa bulan saja, sementara yang lain mengatakan bahwa beliau
tinggal sampai tiga tahun, kemudian kembali ke Mekah dan kemudian tinggal di
sana sampai akhir hayatnya.[6]
Sekembalinya ia ke Mekah, ia pun terus berguru kepada para
ulama’, baik itu yang berasal dari Jawi maupun Timur tengah sampai tahun 1860.
Di antara guru-gurunya yang dikenal adalah Syeikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh
Abdul Gani Bima, Syaikh Yusuf Sumbulawani, dan Syeikh Abd al-Hamid Daghestani
(berasal dari Daghestan). Syeikh Ahmad Khatib Sambas yang menjadi salah satu
guru beliau adalah seorang ulama yang berasal dari daerah Sambas(Kalimantan
Barat). Syeikh Ahmad Khatib Sambas ini memiliki empat orang murid, ke empat
murid itu adalah Syaikh Nawawi al-Bantani, Syeikh Mahfudz at-Tarmisi, Syeikh
Abdul Karim al-bantani dan yang terakhir adalah Syeikh Muhammad Khalil yang
akhirnya menetap di daerah Bangkalan Madura dan wafat di sana. Dikatakan bahwa
di antara ke empat murid Syeikh Sambas tersebut, Syeikh Nawawilah yang paling
senior. Karena di samping beliau adalah sahabat seperguruan mereka, terkadang
beliau juga menjadi guru mereka dalam hal-hal tertentu.[7]
Setelah lama 30 tahun
lamanya beliau menimba ilmu bersama para ulama terkemuka, akhirnya beliaupun
mengabdikan dirinya sebagai seorang pengajar sekaligus imam di Masjid al-Haram
Mekah, kurang lebih selama 10 tahun. Dan selebihnya hari-hari beliau banyak
dihabiskan untuk mengarang kitab dan mengajar serta mendidik para santri di
rumahnya hingga akhir hayatnya.
b) Karya-karya
Syeikh Nawawi al-Bantani
Terdapat perbedaan
pendapat dari para peneliti tentang jumlah kitab yang telah ditulis oleh Syeikh
Nawawi ini. Di antaranya adalah pendapat yang diusung oleh J.A Sarkis(sarjana
Belanda) yang mengatakan bahwa beliau telah menulis kitab sebanyak 39 kitab.
Dan pendapat yang lain diusung oleh Prof. KH. Saifuddin Zuhri dan KH
Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa beliau telah menulis lebih dari 100 buah
kitab besar maupun kecil. Beliau merupakan salah satu ulama besar Nusantara
yang kitabnya telah menjadi rujukan bagi instansi-instansi ternama dunia,
seperti Universitas al-Azhar dan beberapa pesantren di Nusantara.
Banyak kitab yang
telah ditulis oleh Syeikh Nawawi al-Bantani, sebagian kitab tersebut berisi
pembahasan lepas yakni tidak terkait dengan kitab-kitab lain, namun sebagian
lainnya adalah kitab sebagai syarah dari kitab-kitab yang
telah ada sebelumnya. kitab-kitab hasil karangan Syeikh Nawawi al-Bantani
kangkauan pembahasannya meliputi ilmu tauhid, fikih, tasawuf, hadits, nahwu,
sharaf, fadhailul a’mal dan sebagainya. Di antara kitab-kitab tersebut adalah Syarh
al-Jurumiyah(1881), Tanqih al-Qaul (meluruskan pendapat)
syarah atas kitab Lubab al-Haditskarya as-Suyuti. Dan lain
sebagainya.
c) Garis
keturunan Syeikh Nawawi al-Bantani
Jika ditinjau dari segi nasab, maka akan kita ketahui bahwa
nasab Syeikh Nawawi al-Bantani ini bersambung hingga Sunan Gunung Jati yang
telah mashur dikenal sebagai salah satu wali penyebar islam di Nusantara. Dari
Sunan Gunung Jati pun jika kita tinjau lebih jauh, maka garis keturunannya akan
sampai kepada Rasulullah. Ayah Syaikh Nawawi al-Bantani ini bernama K.H. Umar
yang merupakan salah satu ulama di desa Tanara dan juga sebagai pemimpin masjid
serta pesantren di desa tersebut. Untuk lebih jelasnya, begini silsilah
keluarganya: Syeikh Nawawi bin Kiai Umar bin Kiai Arabi bin Kiai Ali bin Kiai
Jamad bin Ki Janta bin Ki Masbuqil bin Ki Masqun bin Ki Maswi bin Ki Tajul
Arsyi(pangeran Suryararas) bin Maulana Hasanuddin bin Maulana Syarif
Hidayatullah Cirebon bin Raja Amatuddin Abdullah bin Ali Nuruddin bin Maulana
Jamaluddin Akbar Husain bin Imam Sayid Ahmad Syah Jalal bin Abdullah Adzmah
Khan bin Amir Abdullah Malik bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath
bin Sayyid Ali Khali Qasim bin Sayyid Alwi bin Imam Ubaidillah bin Imam Ahmad
Muhajir Ilallahi bin Imam Isa an-Naqib bin Imam Muhammad Naqib bin Imam
Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin
Sayyidatuna Fathimah az-Zahra binti Muhammad Rasulullah.[8]
·
Syekh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah
turunan dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan
Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama
Limbak Urai. Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk
Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo
Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung.
·
Ayahnya adalah Abdullatief Khatib
Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang,
Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu
ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan
keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan
kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek.
Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan
berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat,
dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga
Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
·
Ia meninggalkan kampung halamannya
pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya.Sampai dia menamatkan
pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah,
anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar
dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya. Syekh
Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama
sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Semasa hidupnya,
Beberapa karyanya tertulis dalam bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah
al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A’mali al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat
ini diselesaikan pada hari Senin 28 Dzulhijjah 1303 H.
·
Karya lainnya adalah hsyiyatun
Nafahat ala Syarh al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan
kitab ini pada hari Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih.
Karyanya yang membahas ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi
A’mali Ilmil Hisab yang selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di
Makkah.Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang tengah dari mazhab Syafi’i dalam dunia
Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia juga dikenal sebagai ulama yang
sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam Masjidil Haram ini adalah
ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar, ilmu falak, ilmu hitung,
dan ilmu ukur (geometri).
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu shalat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintangtsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
Selain masalah teologi, dia juga pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu shalat, gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintangtsabitah dan sayyarah, galaksi dan lainnya.
·
Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam
geometri dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah
kiblat, serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang
berguna saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuan dalam
karyanya yang bertajuk Raudat al-Hussab dan Alam al-Hussab
·
Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib
dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap
taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang
kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum
pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian
di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula
Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran
gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para
muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah yang
harus dimaksimalkan.
·
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh
Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan
di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama,
penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti
madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke
nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut
kemerdekaan Republik Indonesia.B. MURID-MURID SYEKH AHMAD KHATIB
·
1. Karim
Amarullah
·
Haji Abdul Karim Amrullah, disebut
pula sebagai Haji Rasul, dilahirkan di desa Kepala Kabun, Nagari Sungai Batang,
Maninjau, Agam, Sumatera Barat pada tanggal 10 Februari 1879, dengan nama kecil
Muhammad Rasul. Ayahnya bernama Syekh Muhammad Amrullah, seorang syekh dari
tarekat Naqsyabandiyah. Ibunya bernama Andung Tarawas. Pada tahun 1894
beliau dikirim ayahnya ke Mekah untuk menimba ilmu, dan berguru pada Syeh Ahmad
Khatib yang pada waktu itu menjadi guru dan imam Masjidil Haram. Pada
tahun 1925, sepulangnya dari perjalanan ke Jawa, beliau mengembangkan cabang
organisasi Muhammadiyah di Minangkabau, yaitu di Sungai Batang, kampung
halamannya.
·
Haji Abdul Karim Amrullah wafat pada
tanggal 2 Juni 1945.Salah satu puteranya, yaitu Buya Hamka (Haji Abdul Malik
Karim Amrullah), dikenal banyak orang sebagai ulama besar dan sastrawan
Indonesia angkatan Balai Pustaka.
·
2.
Muhammad Jamil Jambek
·
Syekh Muhammad Jamil Jambek adalah
ulama pelopor pembaruan Islam dari Sumatra Barat awal abad ke-20, dikenal juga
sebagai ahli ilmu falak terkemuka. Nama Syekh Muhammad Jamil Jambek lebih
dikenal dengan sebutan Syekh Muhammad Jambek, dilahirkan dari keluarga
bangsawan. Dia juga merupakan keturunan penghulu. Ayahnya bernama Saleh
Datuk Maleka, seorang kepala nagari Kurai, sedangkan ibunya berasal dari Sunda.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.
Masa kecilnya tidak banyak diketahui. Namun, yang jelas Syekh Muhammad Jambek mendapatkan pendidikan dasarnya di Sekolah Rendah yang khusus mempersiapkan pelajar untuk masuk ke sekolah guru. Kemudian, dia dibawa ke Mekkah oleh ayahnya pada usia 22 tahun, untuk menimba ilmu.
·
Ketika itu dia berguru kepada Syekh
Ahmad Khatib Minangkabau. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama
yang dia dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang
ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais.
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
Dengan pendalaman tersebut Syekh Muhammad Jambek menjadi seorang ahli tarekat dan bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun, dari semua ilmu yang pernah didalami yang pada akhirnya membuatnya terkenal adalah tentang ilmu falak. Keahliannya di bidang ilmu falak mendapat pengakuan luas di Mekkah. Oleh sebab itu, ketika masih berada di tanah suci, Syekh Muhammad Jambek pun mengajarkan ilmunya itu kepada para penuntut ilmu dari Minangkabau yang belajar di Mekkah. Seperti, Ibrahim Musa Parabek (pendiri perguruan Tawalib Parabek) serta Syekh Abbas Abdullah (pendiri perguruan Tawalib Padang Panjang).
·
Pada tahun 1903, dia kembali ke
tanah air. Ia pun memilih mengamalkan ilmunya secara langsung kepada
masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Di antara
murid-muridnya terdapat beberapa guru tarekat. Lantaran itulah Syekh
Muhammad Jambek dihormati sebagai Syekh Tarekat.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
Seiring perjalanan waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Syekh Muhammad Jambek kini tidak lagi tertarik pada tarekat. Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padang Panjang, Syekh Muhammad berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat.
·
Kemudian dia menulis buku mengenai
kritik terhadap tarekat berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu
al-Naksyabandiyyah dan Segala yang Berhubungan dengan Dia, terdiri atas dua
jilid. Salah satu penjelasan dalam buku itu, yakni tarekat Naksyabandiyyah
diciptakan oleh orang dari Persia dan India. Syekh Muhammad Jambek
menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang
makin lama makin jauh dari ajaran Islam. Akan tetapi secara umum dia
bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat Minangkabau. Tahun
1929, Syekh Muhammad Jambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan
Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat
istiadat setempa. Walaupun beliu pada awal-awal nya sebagai guru tarekat
akhirnya termasuk salah satu ulama yang membebaskan masyarakat dari
kemusyrikan.
·
3.
Sulaiman Arrasuli
·
Pendidikan terakhir Syeikh Sulaiman
ar-Rasuli al-Minankabawi adalah di Mekkah. Ulama yang seangkatan
dengannya antara lain adalah Kiyai Haji Hasyim Asyari dari Jawa Timur (1287
H/1871 M – 1366 H/1947 M), Syeikh Hasan Maksum, Sumatra Utara (wafat 1355 H/1936
M), Syeikh Khathib Ali al-Minankabawi, Syeikh Muhammad Zain Simabur
al-Minankabawi (sempat menjadi Mufti Kerajaan Perak tahun 1955 dan wafat di
Pariaman pada 1957), Syeikh Muhammad Jamil Jaho al-Minankabawi, Syeikh Abbas
Ladang Lawas al-Minankabawi dll. Sementara ulama Malaysia yang seangkatan
dan sama-sama belajar di Mekkah dengannya antara lain adalah Syeikh Utsman
Sarawak (1281 H/1864 M – 1339 H/1921 M), Tok Kenali (1287 H/1871 M – 1352
H/1933 M) dll.
·
Ketika tinggal di Mekah, Syeikh
Sulaiman ar-Rasuli al-Minankabawi selain belajar dengan Syeikh Ahmad Khatib
Abdul Lathif al-Minankabawi, beliau juga mendalami ilmu-ilmu dari pada ulama
Kelantan dan Patani. Antaranya, Syeikh Wan Ali Abdur Rahman al-Kalantani,
Syeikh Muhammad Ismail al-Fathani dan Syeikh Ahmad Muhammad Zain
al-Fathani. Pada tahun 1928 itu juga, Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersama
sahabat-sahabatnya Syeikh Abbas Ladang Lawas dan Syeikh Muhammad Jamil Jaho
mengasaskan Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Kemudian persatuan tersebut menjadi
sebuah parti politik yang mempunyai singkatan nama PERTI. Baik dalam
sistem pendidikan mahupun perjuangan dalam parti politik, Syeikh Sulaiman
ar-Rasuli dan kawan-kawannya secara tegas dan berani mempertahankan dan
berpegang dengan satu mazhab, iaitu Mazhab Syafie.
·
Beberapa orang ahli sejarah telah
mencatatkan bahawa Syeikh Sulaiman ar-Rasuli adalah memang seorang ulama besar
yang berpengaruh terhadap kawan dan lawan. Sejak zaman pemerintah
Belanda, pembesar-pembesar Belanda datang menziarahi beliau. Demikian juga
pemimpin-pemimpin setelah kemerdekaan Indonesia. Soekarno sejak belum
menjadi Presiden Indonesia hingga setelah berkuasa memang sering berkunjung ke
rumah Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Pada hari pengkebumian beliau,
dianggarkan 30,000 orang hadir termasuk ramai pemimpin dari Jakarta, bahkan
juga dari Malaysia.
·
4. Hasyim
Ansya’ari
·
Kyai Haji Mohammad Hasyim Asy’arie
(bagian belakangnya juga sering dieja Asy’ari atau Ashari) (10 April 1875 (24
Dzulqaidah 1287H)–25 Juli 1947; dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang) adalah
pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi massa Islam yang terbesar di Indonesia.
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
KH Hasyim Asyari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang).
Berikut silsilah lengkapnya[rujukan?]: Ainul Yaqin (Sunan Giri), Abdurrohman (Jaka Tingkir), Abdul Halim (Pangeran Benawa), Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda), Abdul Halim, Abdul Wahid, Abu Sarwan, KH. Asy’ari (Jombang), KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
KH Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang, Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
·
Pada tahun 1892, KH Hasyim Asyari
pergi menimba ilmu ke Mekah, dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh
Mahfudh at-Tarmisi. Pada tahun 1899, sepulangnya dari Mekah, KH Hasyim
Asyari mendirikan Pesantren Tebu Ireng, yang kelak menjadi pesantren terbesar
dan terpenting di Jawa pada abad 20. Pada tahun 1926, KH Hasyim Asyari
menjadi salah satu pemrakarsa berdirinya Nadhlatul Ulama (NU), yang berarti
kebangkitan ulama.
Walaupun sama-sama berguru kepada syeikh khatib al-minangkabawi KH hasyim asysri juga memiliki pandangan berbeda dengan murid-murid syeikh khatib yang lain seperti ahmad dahlan pendiri organisasi muhamadiyah , walaupun demikian mereka tetap saling menghargai satu sama lain, pada pembahasan selanjutnya akan saya coba membahas perbedaan pandangan para murid-murid syaikh khatib al-minagkabawi
Walaupun sama-sama berguru kepada syeikh khatib al-minangkabawi KH hasyim asysri juga memiliki pandangan berbeda dengan murid-murid syeikh khatib yang lain seperti ahmad dahlan pendiri organisasi muhamadiyah , walaupun demikian mereka tetap saling menghargai satu sama lain, pada pembahasan selanjutnya akan saya coba membahas perbedaan pandangan para murid-murid syaikh khatib al-minagkabawi
·
5. Ahmad
Dahlan
·
Kyai Haji Ahmad Dahlan (lahir di
Yogyakarta, 1 Agustus 1868 – meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada
umur 54 tahun) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga KH. Abu Bakar. KH. Abu Bakar
adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta
pada masa itu, dan ibu dari KH. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang
juga menjabat penghulu Kasultanan Yogyakarta pada masa itu. Nama kecil
KH. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy.
·
Nama kecil KH. Ahmad Dahlan adalah
Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara
yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya. Ia
termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang
yang terkemuka di antara Walisongo, yaitu pelopor penyebaran agama Islam di
Jawa.[1] Silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq,
Maulana ‘Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana
Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang
Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadla, KH. Muhammad Sulaiman, KH.
Abu Bakar, dan Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan).
·
Pada umur 15 tahun, ia pergi haji
dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan
mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti
Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang
kembali ke kampungnya tahun 1888, ia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, ia bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun.
Pada masa ini, ia sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari
pendiri NU, KH. Hasyim Asyari. Walaupun pernah satu guru tapi tak
selamanya cara padang orang tersebut sama ini terbukti dengan perbedaan yang
terjadi antra pendiri NU hasyim Asyari dan ahmad dahlan pendiri muhamadiyah.
·
C.
Pengaruh Syekh Khatib Al-Minangkabawi
·
Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi
ini boleh dikatakan menjadi tiang tengah dari Madzhab Syafi’i dalam dunia Islam
pada permulaan abad ke XIV. Beliau banyak sekali mengarang kitab dalam
bahasa Arab dan bahasa Melayu (Indonesia), di antaranya yang banyak tersiar di
Indonesia, adalah:
·
l. Riyadathul Wardhiyah dalam ilmu
fiqih.
2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5. An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).
2. Al Khitathul Mardhiah, soal membaca “Ushalli”.
3. Al Minhajul Masyru’, soal faraidh (harta pusaka).
4. Ad Dalilul Masmu’, soal hukum pembagian harta pusaka.
5. An Nafahaat, Syarah waraqaat. (usul fiqih).
·
Perhatiannya terhadap hukum waris
juga sangat tinggi, kepakarannya dalam mawarits (hukum waris) telah membawa
pembaharuan adat Minang yang bertentangan dengan Islam. Martin van
Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah akhirnya al-Minangkabawi
semakin terkenal. Salah satu kritik Syeikh Ahmad Khatib yang cukup keras
termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi ‘alan Nashara. Di
dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang dipandangnya sebagai
konsep Tuhan yang ambigu.
·
Cara berpikir seorang beragama Islam
bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi
kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan
kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam
Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat
untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam
memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid.
·
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy
menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah
atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya.
Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau,
melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar
padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya
masing-masing. Sejak berangkat ke tanah suci mekah Ahmad Khatib tidak
pernah kembali ke tanah air, tetapi pengaruh nya cukup besar di Minangkabau,
tanah asalnya pengaruh Ahmad Khatib di di indonesia agak terbatas
Tetapi pengaruh Ahmad Khatib teradap murid-muridnya yangberasl dari daerah minang kabau tidak dapat di sangkal lagi, umumnya murid-murid Ahmad Khatib menolak hukum waris adat Minangkabau yang berpusaka kepada kemenakan, khusus dikalangan pembaharu, penolakan Ahmad Khatib terhadap tarikat naqsybandiah di teruskan oleh murid- muridnya kemudian, Ahmad Khatib juga berjasa dalam mendidik murid-murid yang datang dari Indonesia yang belajar kepadanya, sebagian mereka menjadi ulama dan tokoh dakwah terkemuka di Indonesia
Tetapi pengaruh Ahmad Khatib teradap murid-muridnya yangberasl dari daerah minang kabau tidak dapat di sangkal lagi, umumnya murid-murid Ahmad Khatib menolak hukum waris adat Minangkabau yang berpusaka kepada kemenakan, khusus dikalangan pembaharu, penolakan Ahmad Khatib terhadap tarikat naqsybandiah di teruskan oleh murid- muridnya kemudian, Ahmad Khatib juga berjasa dalam mendidik murid-murid yang datang dari Indonesia yang belajar kepadanya, sebagian mereka menjadi ulama dan tokoh dakwah terkemuka di Indonesia
·
Penolakan Ahmad Khatib terhadap
hukum waris adat di Minangkabau di perjuangkan dengan sangat gigih oleh
muridnya yahya, yang terkenal dengan Tuanku Simabur berasal dari tanah datar
sekarang kabupaten, dalam tulisan, khutbah, dan pengajian karang kabupaten,
simabur mengumumkan perang kepada kaum adat serta ulama ikut membantu
menegakkan hukum adat mengenai waris.
·
Penolakan terhadap tarekat
naqsyabandiah di suarakan oleh muridnya Dr. H. Abdul Karim Amarullah, Dr. Haji
Abdullah Ahmad, dan Syeikh Muhammad Jamil Jambek. Dr. H. Karim Amarullah dan Dr
H. Abdullah Ahmad bersama dua orang muridnya pernah terlibat perdebatan dengan
tokoh tarekat naqsyabandiah dipdang pada tahun 1906. Tokoh naqsyabandiah
tersebut adalah itu adalah Syeikh Khatib Ali, salah seorang murid Ahmad Khatib
penentang adat, Khatib Saidina, Tuanku Syeikh Bayang, dan Tuanku Syeikh
Seberang Pandang, imam mesjid ganting dalam perdebatan ini pihak pembela
tarekat naqsyabandi kewalahan menghadap ulama muda yang didik oleh Ahmad
Khatib, mereka dapat mengemukakan keterangan dan dasar-dasar yang kuat dalam
menentang tarekat, sejak peritiwa itu timbullah sebutan “kaum muda” dan “kaum
tua”golongan yang disebut pertama adalah mereka yang terdiri ulama yang setuju
dengan pendapat Ahmad Khatib dalam menolak tarekat, walaupun di pihak pembela
tarekat juga ada murid Ahmad Khatib, namun beliau tidak dapat mematahkan
mematahkan argumentasi kawan-kawan seperguruannya.
·
D. Polemik
Murid-Murid dan Murakazah Syekh Khatib Al-Minangkabawi
·
Kecamannya mengenai tarekat, telah
dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali
di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu.Kecamannya dalam harta
warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak
dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.Di antara guru
agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang
dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan
dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun
perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang,
menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu
kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
·
Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
berkontroversi dengan sayid utsman (mufti betawi) dan beberapa ulama yang
berasal dari palembang dan ulama-ulama yang lainya. Polimik yang paling hebat
adalah pandangan tentang tarekat naqsyabandiyah. Syekh Khatib Al-Minangkabawi
telah disanggah ramai ulama ulama minagkabau sendiri terutama oleh ulama besar,
sahabatnya, beliu adalah Syeikh Muhammad Sa’ad Mungka yang berasal dari Mungkar
Tua, Minangkabau
·
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib
menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah
kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut
hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap
sebagai harta rampasan. Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib
memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan
yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi
yang adakalanya disebut kaum tua. Pemahaman dan pendalaman dari Syekh
Ahmad Khatib Al-Minangkabawi ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan
di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama,
penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti
madrasah-madrasah Sumatera Thawalib,Syeikh Khatib Al-Minangkabawi juga
mendapatkan terhadap kesuksesannya sebagai guru, Muhammad Sa’id Babsil, seorang
ulama Arab dan mufti mazhab Syafi’i yang juga guru masjidil haram merasa iri
terhadap kemajuan yang dicapai oleh Ahmad Khatib di negeri Arab.
·
Ia merasa tidak senang melihat non
arab memperoleh tempat mengajar di pusat pengajaran kota Mekah. Maka atas
hasutannya, ketika Ahmad Khatib baru mengajar di Masjidil Haram, beliu di
lempari batu, mufti ini tidak dapat berbuat lain, karena ahmad khatib mendapat
ijin Syarief awn Al-Rafiq untuk mengajar di situ. Peristiwa yang sama
juga dialami oleh muridnya haji Abdul Karim amarullah di tempat yang
sama. Karena gagal gagal mematahkan semangat dan membatasi Ahmad Khatib
di Mekah, ia lalu bertindak sesuka hatinya kepada haji Abdul Karim Amarullah
murid kesayangan Ahmad Khatib. Ketika Abdul Karim Amarullah datang kedua
kalinya ke Mekah beliu lebih banyak maengajar dari pada belajar. Setelah
tempatnya mengajar penuh oleh murid, beliu disuruh Ahmad Khatib mengajar di
Masjidil Haram. Beberapa hari haji Abdul Karim Amarullah datanglah mufti
itu mengusirnya, ia jengkel sekali bahwa yang meyuruh mengajar di Masjidil
Haram adalah Syeikh Ahmad Khatib.
·
Rasa tidak senang Syeikh Muhammad
Sa’id Babsil Kepada Ahmad Khatib bermula dari dari permusuhannya dengan guru
syeikh ahmad khati yaitu syeikh bakr al-syatta. Kemudia ditambah lagi denga iri
hati atas sukses ulama asal Indonesia itu di kota Mekah dan tanah Hijaz.
·
Sifat Ahmad Khatib dalam menentang
adat juga mendapat tantangan dari banyak guru agama diatara yang mengemukakan
tanggapannya kepada Ahmad Khatib adalah Syeikh Sa’ad mukadalam tulisannya Tabih
Al-Awam, yang telah saya sampaikan juga di atas dalam buku itu ia menyinggung
hal ini sambil lalu dengan nada sinis ia mengatakan ; “Jika harta orang Minang
dianggap haram maka haram pulalah juga pemberian yang berasal dari suku bangsa
ini”.
·
Ucapan diatas tidak lebih
pelampiasan rasa benci belaka kepada ulama penentang tarekat itu. Semua
tantangan yang di hadapi oleh Ahmad Khatib tersebut tidak megurangi
kharismannya, bahkan sebaliknya menambah popularitasnya dan menambah
penghormatan kaum pembaharu/kaum muda di Minang Kabau kepadanya.
No comments:
Post a Comment